Noonan Syndrome Adalah

What are the risk factors associated with Pelvic Congestion Syndrome?

There are several risk factors that increase the likelihood of developing Pelvic Congestion Syndrome. Though it is not a lethal condition, it still warrants specific treatments to avoid functional disability and recurring pain. If you identify with any of these risk factors, it would be wise to take extra steps to stay healthy.

Toxic Relationship

Orang yang mengalami hubungan toksik dapat mengembangkan keterikatan emosional dengan pelakunya.

Pelecehan seksual, fisik, dan emosional, serta inses, dapat berlangsung selama bertahun-tahun.

Selama waktu ini, seseorang dapat mengembangkan perasaan positif atau simpati untuk orang yang menyalahgunakannya.

Pelaku sering mengancam korbannya dengan menyakiti, bahkan akan menghabisi nyawanya. Korban mungkin mencoba untuk tidak membuat marah pelaku dengan menjadi patuh.

Pelaku juga dapat menunjukkan kebaikan yang dapat dianggap sebagai perasaan yang tulus.

Hal ini selanjutnya dapat membingungkan anak (korban) dan menyebabkan mereka tidak memahami sifat negatif positif dari hubungan tersebut.

Orang-orang yang diperdagangkan seringkali bergantung pada pelakunya untuk kebutuhan, seperti makanan dan air. Ketika pelaku memberikan itu, korban mungkin mulai mengembangkan perasaan positif terhadap pelakunya.

Mereka mungkin juga menolak bekerja sama dengan polisi karena takut akan pembalasan atau berpikir bahwa mereka harus melindungi pelaku kekerasan untuk melindungi diri mereka sendiri.

What are conditions share similar symptoms with Pelvic Congestion Syndrome?

Chronic pelvic pain and other previously mentioned symptoms are linked to several other conditions. Since chronic pelvic pain is a common occurrence, it can be classified as a symptom in digestive, circulatory, urinary, and nervous system conditions.

Frequently asked questions

Pelvic Congestion Syndrome is associated with restricted blood flow in the pelvic area. When the body changes during pregnancy, the veins may be damaged. The veins may lead to malfunctioning organs which can affect fertility. Dysfunctional pelvic veins do not close properly, causing backflow and interruption of bodily functions. This condition causes chronic pelvic pain since the twisted veins cannot handle the sudden onset of blood. See “What causes Pelvic Congestion Syndrome” section above for a detailed explanation.

Signs and symptoms (Pelvic pain, varicose veins, digestive problems, stress incontinence, and haemorrhoids) often interfere with daily activities such as work, school, and hobbies. See “What are the various signs and symptoms of Pelvic Congestion Syndrome?” section above for a detailed explanation. Aside from the other signs, one may also experience mental health problems such as anxiety and depression. Pelvic Congestion Syndrome causes women to experience fertility problems. There is a chance that the affected and damaged veins may cause the reproductive organs (uterus, ovaries, and fallopian tubes) to malfunction. Pain during sexual intercourse is a symptom, which makes it difficult for women to conceive properly.

Pelvic Congestion Syndrome can be diagnosed using a CT scan, pelvic venogram, ultrasound, laparoscopy, and blood & urine tests. The specific method of diagnosis may differ among medical professionals. (See “How can Pelvic Congestion Syndrome be diagnosed?” for an in-depth look into various methods for diagnosis)

Pelvic Congestion Syndrome can be treated through surgical and non-surgical management. Surgical management includes open surgical methods such as salpingo-oophorectomy and hysterectomy. Non-surgical management includes anti-inflammatory drugs, hormonal medications, and alternative therapies such as physical therapy and acupuncture. Pelvic and Ovarian Vein Embolisation Surgery is another potential treatment for this condition. It is a minimally invasive procedure that uses a catheter, fluoroscopy, and tiny titanium coils to seal damaged veins. After these treatments, it is expected that the patient will experience less pain and discomfort. See “What should I expect after I get treated for Pelvic Congestion Syndrome?” for more information.

75% of patients who undergo Pelvic and Ovarian Vein Embolisation Surgery experience relief from the pains and discomfort associated with the condition. This condition is not a lethal or life-threatening disease, but it is the type of condition that calls for medical intervention. Patients who undergo treatment are expected to feel relief from the symptoms of Pelvic Congestion Syndrome.

Psikolog : Korban Memfokuskan Perhatian Pada Sisi Baik Pelaku Kekerasan

Jakarta, Sekolah Cikal.Kekerasan dalam rumah tangga seringkali membuat korbannya menjadi terisolasi karena terbatasnya ruang gerak dan interaksi yang dilakukan. Bagi korban yang sudah berupaya melakukan tindakan pengaduan ke pihak berwajib baik itu kepolisian dan penyelamatan melalui pendampingan Psikolog. Namun, dalam beberapa kasus ada pula korban yang menghadapi Stockholm Syndrome.

Psikolog Klinis Anak yang juga merupakan Konselor Anak di Sekolah Cikal, Rendra Yoanda, M.Psi., Psikolog atau yang akrab disapa Rendra menyebutkan bahwa Stockholm Syndrome merupakan sebuah mekanisme pertahanan bagi korban penculikan atau kekerasan yang memang sebetulnya jarang terjadi.

Seperti apa sebetulnya penjelasan dari Stockholm Syndrome ini? Simak penjelasan dari Rendra Yoanda, M.Psi., Psikolog berikut ini.

Penyebab Stockholm Syndrome

Sejauh ini para peneliti tidak tahu pasti penyebab mengapa beberapa tawanan mengembangkan sindrom ini sedangkan yang lain tidak.

Bisa jadi keberadaan sindrom ini sebagai teknik coping nenek moyang peradaban masa lalu.

Di mana pada situasi tertentu, tawanan membangun ikatan emosional dengan penculiknya untuk meningkatkan peluang bertahan hidup.

Teori lain menyebutkan bahwa situasi tawanan atau pelecehan sangat emosional. Korban bisa “terpaksa” menyesuaikan perasaan dengan pelaku untuk mengamankan keselamatannya.

Ketika tidak disakiti oleh pelakunya, korban mungkin merasa bersyukur dan bahkan memandang pelakunya sebagai orang yang penuh belas kasihan.

Pengobatan Stockholm Syndrome

Karena stockholm syndrome belum diakui secara resmi sebagai gangguan psikologis, belum ada standar pengobatan yang spesifik untuk kondisi ini.

Namun, pengobatannya mirip sekali dengan mengatasi PTSD, seperti berikut:

Perasaan negatif terhadap figur otoritas

Korban sering mengembangkan ketidakpercayaan atau perasaan negatif terhadap pihak otoritas, seperti polisi atau pihak penegak hukum lainnya.

Hal ini terjadi karena korban melihat pihak otoritas sebagai ancaman bagi hubungannya dengan pelaku.

Perasaan positif terhadap pelaku

Meskipun korban mungkin mengalami penderitaan atau kekerasan, mereka juga merasakan simpati, rasa hormat, atau bahkan afeksi terhadap pelaku.

Hal ini sering terlihat dalam situasi di mana korban merasa pelaku memberikan perlindungan atau perawatan dalam situasi yang berbahaya.

Hubungi Psikiater Ini Jika Mengidap Stockholm Syndrome

Apabila kamu atau orang terdekat mengalami gejala Stockholm Syndrome, segera hubungi psikiater di Halodoc untuk mendapat saran perawatan.

Psikiater di Halodoc telah berpengalaman serta mendapatkan penilaian baik dari pasien yang sebelumnya mereka tangani.

Berikut psikiater di Halodoc yang bisa kamu hubungi:

Itulah beberapa psikiater yang bisa kamu hubungi untuk bantu perawatan terkait Stockholm Syndrome. Jangan ragu untuk segera menghubungi dokter agar dapat segera ditangani.

Dokter tersebut tersedia selama 24 jam di Halodoc sehingga kamu bisa lakukan konsultasi dari mana saja dan kapan saja.

Namun, jika dokter sedang tidak tersedia atau offline, kamu tetap bisa membuat janji konsultasi melalui aplikasi Halodoc.

Tunggu apalagi? Ayo, pakai Halodoc sekarang juga!

Gejala mirip PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder)

Korban juga sering mengalami gejala yang serupa dengan PTSD, seperti kilas balik peristiwa traumatis, rasa tidak percaya terhadap orang lain dan perasaan tertekan.

Korban juga menjadi mudah tersinggung, kecemasan berlebihan, kesulitan menikmati aktivitas yang dulu disukai, serta kesulitan berkonsentrasi.

Gejala-gejala ini sering kali berlangsung lama bahkan setelah situasi traumatis berakhir.