Musik Religi Berkembang
Charlemagne dikenal sebagai pendukung keras agama Kristen, sehingga ia menyukai musik gereja khususnya musik liturgi Roma. Pada tahun 774 M, ia meminta Paus Hadrian I mengirim biarawan dari Roma ke istana Aachen untuk mengajar paduan suara.
Peristiwa ini memicu penyebaran musik tradisional Gregorian ke seluruh gereja-gereja kaum Franka. pada tahun 789 M, Charlemagne juga mengeluarkan dekrit yang memerintahkan pendeta kekaisarannya untuk mempelajari dan bernyanyi dengan benar nyanyian Romawi.
Pada masa ini juga, sekolah musik didirakan dan para biarawan diberi tugas menyalin musik dan membantu melestarikan nyanyian Gregorian hingga saat ini.
Terminologi dan Periodisasi
Abad Pertengahan adalah salah satu dari tiga kurun waktu utama dalam skema terlama yang digunakan dalam kajian Sejarah Eropa, yakni Zaman Klasik atau Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern.
Para pujangga Abad Pertengahan membagi sejarah menjadi sejumlah kurun waktu, misalnya “Enam Zaman” atau “Empat Kekaisaran”, dan menganggap zaman hidup mereka sebagai zaman akhir menjelang kiamat. Apabila mengulas zaman hidup mereka, zaman itu akan mereka sebut sebagai “zaman modern”. Pada era 1330-an, humanis sekaligus penyair Italia, Petrarka, menyebut kurun waktu pra-Kristen sebagai zaman antiqua (kuno) dan kurun waktu Kristen sebagai sebagai zaman nova (baru).
Leonardo Bruni adalah sejarawan pertama yang menggunakan periodisasi tripartitus (tiga serangkai) dalam karya tulisnya, Sejarah Orang Firenze (1442). Dia dan para sejarawan sesudahnya berpendapat bahwa Italia telah banyak berubah semenjak masa hidup Petrarka, dan karenanya menambahkan kurun waktu ketiga pada dua kurun waktu yang telah ditetapkan oleh Petrarka.
Istilah “Abad Pertengahan” pertama kali muncul dalam bahasa Latin pada 1469 sebagai media tempestas (masa pertengahan). Mula-mula ada banyak variasi dalam pemakaian istilah ini, antara lain, medium aevum (abad pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1604, dan media saecula (zaman pertengahan) yang pertama kali tercatat pada 1625. Istilah “Abad Pertengahan” adalah terjemahan dari frasa medium aevum. Periodisasi tripartitus menjadi periodisasi standar setelah sejarawan Jerman abad ke-17, Christoph Keller, membagi sejarah menjadi tiga kurun waktu: Kuno, Pertengahan, dan Modern.
Tarikh yang paling umum digunakan sebagai permulaan Abad Pertengahan adalah tarikh 476 M, yang pertama kali digunakan oleh Leonardo Bruni. Bagi Eropa secara keseluruhan, tarikh 1500 M sering kali dijadikan tarikh penutup Abad Pertengahan, tetapi tidak ada kesepakatan sejagat mengenai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tergantung kepada konteksnya, tarikh peristiwa-peristiwa penting seperti tarikh pelayaran perdana Kristoforus Kolumbus ke Benua Amerika (1492), tarikh penaklukan Konstantinopel oleh orang Turki (1453), atau tarikh Reformasi Protestan (1517), kadang-kadang pula digunakan.
Para sejarawan Inggris sering kali menggunakan tarikh Pertempuran Bosworth (1485) sebagai tarikh penutup Abad Pertengahan. Tarikh-tarikh yang umum digunakan di Spanyol adalah tarikh kemangkatan Raja Fernando II (1516), tarikh kemangkatan Ratu Isabel I (1504), atau tarikh penaklukan Granada (1492).
Para sejarawan dari negara-negara penutur rumpun bahasa Romawi cenderung membagi Abad Pertengahan menjadi dua kurun waktu, yakni kurun waktu “Tinggi” sebagai kurun waktu yang “terdahulu”, dan kurun waktu “Rendah” sebagai kurun waktu yang “terkemudian”.
Para sejarawan penutur bahasa Inggris, mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Jerman, umumnya membagi Abad Pertengahan menjadi tiga kurun waktu, yakni kurun waktu “Awal”, kurun waktu “Puncak”, dan kurun waktu “Akhir”. Pada abad ke-19, seluruh Abad Pertengahan kerap dijuluki “Abad Kegelapan”, tetapi semenjak Abad Pertengahan dibagi menjadi tiga kurun waktu, pemakaian istilah ini pun dibatasi untuk kurun waktu Awal Abad Pertengahan saja, setidaknya di kalangan sejarawan.
Sengketa dalam Gereja
Pada abad ke-14 yang penuh pergolakan, sengketa kepemimpinan Gereja mengakibatkan lembaga kepausan berpindah ke Avignon sejak 1309 sampai 1376.[295] Kurun waktu keberadaan lembaga kepausan di Avignon ini disebut pula masa "pembuangan Babel lembaga kepausan" (mengacu pada masa pembuangan Babel yang dialami umat Yahudi).[296] Sengketa ini juga menyebabkan terjadinya Skisma Akbar Gereja Barat, yang berlangsung dari 1378 sampai 1418, manakala muncul dua dan kemudian tiga orang paus yang menjabat pada waktu yang bersamaan, masing-masing didukung oleh sejumlah negara.[297] Para wali gereja bersidang dalam Konsili Konstanz pada 1414, dan pada tahun berikutnya memutuskan untuk memakzulkan salah seorang dari ketiga paus. Pemakzulan terus berlanjut dan pada bulan November 1417, para peserta konsili akhirnya memilih Kardinal Oddone Colonna menjadi Paus Martinus V (menjabat 1417–1431).[298]
Selain skisma, Gereja Barat juga mengalami perpecahan akibat kontroversi teologi, beberapa di antaranya berubah menjadi gerakan bidah. Yohanes Wycliffe (wafat 1384), seorang teolog Inggris, dikutuk sebagai ahli bidah pada 1415 karena mengajarkan bahwa umat awam harus diberi keleluasaan untuk membaca sendiri nas-nas Kitab Suci, juga karena pandangannya mengenai Ekaristi bertentangan dengan doktrin Gereja.[299] Ajaran-ajaran Yohanes Wycliffe mempengaruhi dua gerakan bidah besar pada Akhir Abad Pertengahan, yakni bidah Lolardi di Inggris dan bidah Husité di Bohemia.[300] Gerakan bidah di Bohemia dipicu oleh ajaran Yohanes Hus, yang dibakar hidup-hidup pada 1415 setelah dipidana mati sebagai ahli bidah oleh Konsili Konstanz. Meskipun sempat menjadi sasaran penyerbuan dalam Perang Salib, jemaat Husite sanggup bertahan melewati Abad Pertengahan.[301] Bidah-bidah lain hanyalah hasil rekayasa, misalnya dakwaan sebagai ahli bidah terhadap para Kesatria Haikal yang mengakibatkan tarekat mereka dibubarkan pada 1312, dan harta kekayaan mereka yang besar dibagi-bagi di antara Raja Prancis, Philippe IV (memerintah 1285–1314), dan para Kesatria Pramuhusada.[302]
Lembaga kepausan terus memoles dan memperhalus tata cara perayaan Misa pada Akhir Abad Pertengahan, dengan menetapkan bahwa hanya rohaniwan yang boleh meminum anggur Ekaristi. Ketentuan ini semakin memperlebar jarak antara umat awam sekuler dan kaum rohaniwan. Umat awam masih terus mengamalkan kebiasaan berziarah, penghormatan relikui, dan keyakinan akan adanya kekuatan Iblis. Tokoh-tokoh kebatinan seperti Meister Eckhart (wafat 1327) dan Tomas a Kempis (wafat 1471) menghasilkan karya-karya tulis yang berisi taklimat bagi umat awam untuk memusatkan perhatian pada kehidupan rohaninya masing-masing. Karya-karya tulis ini menjadi landasan bagi gerakan Reformasi Protestan. Selain ajaran-ajaran kebatinan, keyakinan akan tukang sihir dan ilmu sihir juga kian meluas. Pada penghujung abad ke-15, Gereja malah turut memperbesar ketakutan masyarakat akan ilmu sihir dengan mengeluarkan pernyataan mengutuk tukang sihir pada 1484, dan pada 1486, menerbitkan Malleus Maleficarum (Penggodam Tukang Sihir), buku panduan populer bagi para pemburu tukang sihir.[303]
Akhir Abad Pertengahan
Akhir Abad Pertengahan ditandai oleh berbagai musibah dan malapetaka yang meliputi bencana kelaparan, wabah penyakit, dan perang, yang secara signifikan menyusutkan jumlah penduduk Eropa; antara 1347 sampai 1350, wabah Maut Hitam menewaskan sekitar sepertiga dari penduduk Eropa.
Kontroversi, bidah, dan Skisma Barat yang menimpa Gereja Katolik, terjadi bersamaan dengan konflik antarnegara, pertikaian dalam masyarakat, dan pemberontakan-pemberontakan rakyat jelata yang melanda kerajaan-kerajaan di Eropa. Perkembangan budaya dan teknologi mentransformasi masyarakat Eropa, mengakhiri kurun waktu Akhir Abad Pertengahan, dan mengawali kurun waktu Awal Zaman Modern.
Nah, itulah penjelasan singkat mengenai sejarah singkat Abad Pertengahan di Eropa. Grameds dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh referensi tentang bagian dari sejarah Eropa tersebut. Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang sejarah Abad Pertengahan agar dapat mempelajarinya secara penuh. Selamat membaca.
Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.
Dari Wikibuku bahasa Indonesia, sumber buku teks bebas
Viking merupakan bangsa India-Eropa dari Skandinavia (Denmark, Norwegia, dan Swedia modern) yang sekitar 400-an M mulai melakukan penyerbuan rutin melalui laut ke berbagai wilayah di Eropa, bahkan hingga ke Laut Tengah dengan menyerbu Sisilia dan Italia selatan. Viking mulai menyerang pesisir Atlantik Prancis selatan sekitar 400 M, dan juga pesisir timur Inggris.
Pada 861 M, cabang Viking lainnya bermigrasi ke Rusia untuk berdagang dengan Konstantinopel. Di Rusia, Viking secara berangsur-angsur bercampur dengan bangsa Slav yang tinggal di sana, dan mendirikan negara Rusia. Bersama-sama, bangsa Slav dan Viking melayari Laut Hitam, di mana mereka berdagang dengan berbagai orang dari timur di sepanjang Jalur Sutra seperti orang Samaniyah. Viking menjual bulu dan wol kepada orang Samaniyah, dan orang Samaniyah menjual sutra dari Tiongkok kepada Viking.
Bangsa Viking dan Slav juga menyerbu wilayah Romawi Timur di sekitar Konstantinopel, meskipun mereka tidak mampu merebut kota tersebut. Dengan cepat Kekaisaran Bizantium menyewa orang Viking sebagai tentara. Banyak Viking yang bertempur untuk Bizantium pada Pertempuran Manzikert melawan Seljuk pada 1071 M. Sekitar 1100 M, sebagian besar Viking telah memeluk Kristen.
Pada 1000 M, beberapa Viking bermukim di Prancis utara, dan mereka kemudian disebut orang Norman, atau Northman, sedangkan wilayahnya disebut Normandia hingga masa kini. Mereka juga memeluk Kristen. Pada masa tersebut, beberapa Viking berlayar ke barat ke wilayah seperti Islandia dan Greenland, bahkan hingga sejauh Nova Scotia, di Kanada modern. Beberapa pria Viking menikahi perempuan lokal di sana. Orang Viking juga bermukim di Islandia dan Greenland, tapi hanya tinggal sebentar di Kanada, karena orang-orang Inuit di sana terlalu kuat bagi mereka, serta karena periode pendinginan global yang dimulai sekitar 1300 M menjadikan lautan terlalu beku untuk kapal-kapal mereka.
PERPUSTAKAAN SMA ISLAM AL AZHAR 8 KOTA BEKASI
Perpustakaan SMA Islam Al Azhar 8 Kota Bekasi merupakan salah satu perpustakaan tingkat SMA yang ada di Kota Bekasi. Perpustakaan ini berdiri sejak tahun 2013 yang dikelola oleh Yayasan Syiar Bangsa. Pada awal mula berdirinya, Perpustakaan SMA Islam Al Azhar 8 bergabung ruangan dengan Perpustakaan SMP Islam Al Azhar 31 Kota Bekasi. Kemudian pada bulan April Tahun 2016 hingga kini perpustakaan SMA Islam Al Azhar 8 Kota Bekasi sudah memiliki ruang sendiri yaitu di lantai 3 gedung SMA Islam Al Azhar 8. Tujuan dari perpustakaan SMA Islam Al Azhar 8 Kota Bekasi adalah sebagai wadah bagi para guru dan murid dalam membantu proses belajar. Satu unit layanan jasa penyedia informasi, pembelajaran, dan pengembangan diri bagi civitas akademik.
© 2024 — Senayan Developer Community
Masyarakat-masyarakat baru
Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai "invasi", pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran. Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi.[41] Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau orang-orang yang sama sekali tidak berdarah Romawi. Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Kawin campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dengan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi.[42] Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.[43] Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi.[44] Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan pada tradisi-tradisi intelektual Romawi.[45] Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan.[46] Perang menjadi hal yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.[47][F]
Antara abad ke-5 dan abad ke-8, suku-suku bangsa dan tokoh-tokoh baru mengisi kekosongan politik selepas tumbangnya pemerintahan terpusat bangsa Romawi.[45] Orang Ostrogoth, salah satu suku Goth, menetap di Italia Romawi pada penghujung abad ke-5, di bawah pimpinan Teodorik Agung (wafat 526). Orang Ostrogoth mendirikan sebuah kerajaan di daerah itu dan hidup rukun bersama orang-orang Italia, setidaknya sampai masa pemerintahan Teodorik berakhir.[49] Orang-orang Burgundi menetap di Galia, dan setelah kerajaannya dibinasakan oleh orang Hun pada 436, mereka mendirikan sebuah kerajaan baru pada dasawarsa 440-an. Kerajaan di daerah yang kini berada di antara kota Jenewa dan kota Lyon ini berkembang menjadi Kerajaan Burgundia pada penghujung abad ke-5 dan permulaan abad ke-6.[50] Daerah-daerah lain di Galia diduduki oleh orang Franka dan orang Briton Kelt yang mendirikan kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan Franka berpusat di kawasan utara Galia, dan raja pertamanya diketahui bernama Kilderik (wafat 481). Di makam Kilderik yang ditemukan kembali pada 1653, didapati barang-barang bekal kubur yang menakjubkan, yakni senjata-senjata dan sejumlah besar emas.[51]
Pada masa pemerintahan putra Kilderik, Klovis I (memerintah 509–511), pendiri wangsa Meroving, Kerajaan Franka meluaskan wilayahnya dan menerima agama Kristen. Orang Briton, yang masih berkerabat dengan pribumi Pulau Pretanī (bahasa Latin: Britannia) – Pulau Britania Raya sekarang ini – menetap di daerah yang sekarang disebut Bretagne.[52][G] Orang Visigoth mendirikan kerajaan di Jazirah Iberia, orang Suevi mendirikan kerajaan di kawasan barat laut Iberia, dan orang Vandal mendirikan kerajaan di Afrika Utara.[50] Pada abad ke-6, orang Lombardi menetap di Italia Utara, menggantikan Kerajaan Ostrogoth dengan sekelompok kadipaten yang sesekali memilih seorang raja untuk memerintah semuanya. Pada akhir abad ke-6, tatanan pemerintahan ini tergantikan oleh sebuah monarki yang bersifat tetap, yakni Kerajaan Orang Lombardi.[53]
Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan. Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad. Bahasa Yunani masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Romawi Timur, akan tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.[54]
Keadaan Eropa Pada Abad Pertengahan
Runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 menyebabkan perdagangan di sekitar Laut Tengah setelah hilangnya pasar di Roma menjadi sangat berkurang atau mengalami penurunan aktivitas. Penurunan aktivitas ini membuat kota-kota di Eropa Barat menjadi mati. Hubungan dagang yang tersisa adalah hubungan antara kota-kota pantai di cekungan sebelah timur dengan Konstantinopel sebagai pusatnya. Sisa-sisa perdagangan dan pelayaran di Laut Tengah bagi bangsa Eropa berakhir setelah Konstantinopel dikuasai oleh Kekaisaran Turki Utsmani pada tahun 1453.
Hilang dan runtuhnya kota-kota pelabuhan di Eropa mengubah daerah Eropa menjadi semakin agraris dengan rumah tangga desa tertutup. Hasil tanah yang dahulu dijual di kota-kota kini menjadi konsumsi desa. Di Eropa kemudian pun tidak adanya lalu lintas uang antara desa yang satu dengan desa yang lain. Hubungan perdagangan dengan daerah Asia yang telah terjadi selama berabad-abad hampir putus dan hilang sama sekali. Hal ini pun kemudian mengakibatkan kemunduran di bidang perekonomian.
Berubahnya Eropa menjadi masyarakat yang agraris menyebabkan timbulnya susunan sosial-politik baru di Eropa yang disebut dengan sistem feudal. Sistem feudal (feodalisme) adalah suatu sistem yang didasarkan pada penguasaan atas tanah (feodum) atau yang memiliki pengertian tanah yang dimiliki oleh para vassal. Sistem ini di Eropa ditandai dengan kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah. Sistem feudal juga diartikan sebagai sistem sosial yang mengagungkan jabatan atau pangkat seseorang dan menyingkirkan prestasi kerja.
Sistem politik yang dibangun pada masa ini adalah perpaduan antara militer dan bangsawan dengan menganut sistem yang sangat hierarki. Kekuasaan politik bersifat lokal dan personal. Hal ini mengakibatkan dunia kekuasaan menjadi tumpah tindih sehingga seringkali dipenuhi dengan ketegangan dan peperangan antar vassal.
Para raja yang dianggap menjadi pemilik tunggal tanah secara keseluruhan, meminjamkan bidang-bidang tanah yang luas kepada mereka yang dianggap berjasa terhadap raja. Pinjaman yang diberikan oleh raja ini bersifat turun-temurun dan peminjam pertama ini disebut sebagai raja daerah atau vassal, yang tergolong sebagai bangsawan kelas tinggi.
Para raja daerah (vassal) atau tuan-tuan tanah ini bertempat tinggal di sebuah bangunan yang disebut dengan kastil. Vassal atas namanya sendiri menguasai dan mengatur pemakaian tanah di wilayah kekuasaannya. Mereka meminjamkan bagian-bagian tanahnya kepada bawahannya langsung dan seterusnya.
Dengan demikian, terbentuklah golongan bangsawan atau kaum feudal yang dibagi atas tingkatan-tingkatan. Dalam hal ini peminjam yang tingkatannya paling bawah adalah para petani yang mengerjakan tanah. Dalam kehidupan yang feudal ini, seorang vassal mempunyai hak untuk memerintah daerah kekuasaannya menurut kehendak dan caranya sendiri. Seorang vassal memiliki kewajiban untuk memberi pajak dan upeti kepada raja.
Demikian juga, bawahan-bawahan langsung dari para vassal inilah yang lalu menjadikan petani-petani sebagai objek untuk mendukung kewajibannya, sehingga para petani terpaksa menanggung pajak yang sangat berat dalam susunan pemerintahan yang feudal. Sebagian besar pendapatan petani dipakai untuk membayar pajak.
Feodalisme telah menempatkan kaum feudal (raja, vassal, bangsawan, dan golongan ksatria dari kaum bangsawan (ridder-knight) sebagai penguasa, sedangkan rakyat lebih banyak kewajibannya dibandingkan dengan haknya. Keadaan-keadaan lain yang menjadi ciri-ciri lain dari kehidupan masyarakat feudal di Eropa adalah:
Di tengah-tengah situasi politik yang kacau-balau selama Abad Pertengahan, ketika semua organisasi kenegaraan lumpuh, suku bar-bar mulai menguasai daerah-daerah dan mulai mendominasi di dataran Eropa. Sedangkan di sisi lain orang-orang masih menggunakan tradisi Romawi dan diatur menurut model Romawi Kuno: Kota berada di bawah uskup, provinsi di bawah provicaris gereja dan juga sebagai pusat agama Kristen di Eropa.
Kedudukan Paus sebagai “pembuat raja” menempatkan pula kedudukan dan pengaruh kaum gereja ke dalam kehidupan secara menyeluruh. Biara-biara saat itu menjadi pusat pembinaan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Uskup-uskup di samping memangku jabatan gereja juga menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Banyak diantara mereka yang menjadi penasihat raja. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada masa ini seluruh sendi-sendi kehidupan mengandung unsur kegerejaan yang sangat kuat.
Perkembangan teknologi dan militer
Salah satu perkembangan besar di bidang militer pada Akhir Abad Pertengahan adalah meningkatnya pengerahan pasukan pejalan kaki dan pasukan aswasada berperlengkapan ringan.[312] Orang-orang Inggris juga mengerahkan pasukan pemanah bersenjata busur panjang, tetapi negeri-negeri lain tidak mampu membentuk pasukan serupa dengan tingkat keberhasilan yang sama.[313] Baju zirah terus-menerus dikembangkan, dipacu oleh peningkatan daya hujam anak panah yang dilesatkan dengan busur silang, sehingga akhirnya menghasilkan zirah lempeng yang berguna melindungi para prajurit dari tembakan busur silang maupun senjata api genggam yang kala itu sudah diciptakan.[314] Senjata-senjata galah kembali menjadi senjata andalan dengan dibentuknya pasukan-pasukan pejalan kaki Flandria dan Swiss yang dipersenjatai dengan tembiang dan tombak-tombak bergagang panjang lainnya.[315]
Di bidang tani-ternak, meningkatnya budi daya domba berbulu panjang memungkinkan dihasilkannya pintalan benang wol yang lebih alot. Selain itu, penggunaan rahat sebagai pengganti luli dan gelendong untuk mengantih membuat hasil pintalan benang wol meningkat hingga tiga kali lipat.[316][AH] Salah satu wujud penyempurnaan ciptaan manusia yang kurang berkaitan dengan teknologi tetapi besar dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari adalah penggunaan kancing untuk merapatkan pakaian. Dengan menggunakan kancing, orang tidak perlu lagi merapatkan pakaian pada tubuh si pemakai dengan cara mengencangkan tali yang diloloskan melalui lubang-lubang tali atau kaitan yang terpasang pada pakaian (serupa dengan cara mengencangkan dan mengikat tali sepatu).[318] Kincir angin disempurnakan menjadi kincir menara. Bagian puncak dari kincir menara ini dapat diputar, sehingga kitiran yang terpasang pada bagian puncak itu dapat diatur menghadap hembusan angin dari arah manapun datangnya.[319] Penggunaan tanur embus, yang muncul sekitar tahun 1350 di Swedia, meningkatkan jumlah dan mutu besi yang dihasilkan dari kegiatan peleburan bijih besi.[320] Hukum paten pertama kali diundangkan pada 1447 di Venesia untuk melindungi hak-hak para pereka cipta atas barang-barang ciptaan mereka.[321]
Retaknya Kekaisaran Karoling
Karel Agung berniat meneruskan adat waris Franka dengan membagi wilayah kerajaannya kepada seluruh ahli warisnya, akan tetapi niatnya itu tidak terkabul karena hanya tinggal Ludwig Saleh (memerintah 814–840) yang masih hidup pada 813. Sebelum mangkat pada 814, Karel Agung menobatkan Ludwig menjadi penggantinya. Masa pemerintahan Ludwig sepanjang 26 tahun ditandai beberapa kali pembagi-bagian wilayah Kekaisaran Karoling di antara putra-putranya dan, setelah 829, pecah beberapa kali perang saudara memperebutkan kekuasaan atas berbagai bagian wilayah Kekaisaran Karoling. Selama berlangsungnya perang-perang saudara ini, Ludwig bersekutu dengan salah seorang putranya untuk melawan putranya yang lain. Ludwig akhirnya mengakui putra sulungnya yang bernama Lothar I (wafat 855) sebagai kaisar dan menyerahkan wilayah Italia kepadanya. Ludwig membagi wilayah kekaisaran selebihnya kepada Lothar dan Karel Gundul (wafat 877), putra bungsunya. Lothar menguasai Negeri Franka Timur yang terletak di kedua tepi Sungai Rhein dan membentang sampai ke sebelah timur, sementara Karel menguasai Negeri Franka Barat beserta wilayah kekaisaran di sebelah barat daerah Rheinland dan Pegunungan Alpen. Ludwig Jerman (wafat 876), anak tengah Karel yang tak kunjung jera memberontak, diizinkan menguasai daerah Bayern di bawah suzerenitas abangnya. Pembagian wilayah ini malah menimbulkan pertikaian. Cucu kaisar yang bernama Pipin II dari Aquitania (wafat sesudah 864), bangkit memberontak hendak mengusai Aquitania, sementara Ludwig Jerman berusaha menguasai seluruh Negeri Franka Timur. Ludwig Saleh mangkat pada 840, meninggalkan Kekaisaran Karoling dalam keadaan kacau balau.[109]
Perang saudara selama tiga tahun pun berkecamuk setelah Ludwig Saleh mangkat. Dengan Perjanjian Verdun (843), diciptakan sebuah kerajaan baru bagi Lothar yang terletak di antara Sungai Rhein dan Sungai Rhone sebagai tambahan bagi wilayah Italia yang dikuasainya. Selain itu, Lothar juga diakui sebagai Kaisar. Ludwig Jerman menguasai Bayern dan daerah-daerah di kawasan timur Negeri Franka yang sekarang termasuk dalam wilayah negara Jerman. Karel Gundul mendapatkan daerah-daerah di kawasan barat Negeri Franka yang meliputi hampir seluruh wilayah negara Prancis sekarang ini.[109] Cucu-cucu dan cicit-cicit Karel Agung membagi-bagi lagi wilayah kerajaan-kerajaan mereka kepada anak cucu mereka, sehingga keutuhan wilayah Kekaisaran Karoling pada akhirnya sirna.[110][M] Pada 987, wangsa Karoling tersingkir dari tampuk kekuasaan di Negeri Franka Barat, manakala Hugo Capet (memerintah 987–996) dinobatkan menjadi raja.[N][O] Di Negeri Franka Timur, wangsa Karoling telah punah manakala Raja Ludwig Bocah mangkat pada 911,[113] dan Konrad I (memerintah 911–918), yang tidak memiliki pertalian apa-apa dengan wangsa Karoling, terpilih menjadi raja.[114]
Perpecahan Kekaisaran Karoling terjadi bersamaan dengan invasi, migrasi, dan penyerangan oleh seteru dari luar. Kawasan pantai Samudra Atlantik dan pesisir utara dirongrong oleh orang Viking, yang juga menyerbu serta mendiami Kepulauan Britania dan Islandia. Pada 911, Kepala Suku Viking yang bernama Rollo (wafat sekitar 931) mendapatkan izin dari Raja Orang Franka, Karel Polos (memerintah 898–922) untuk bermukim di daerah yang kini bernama Normandie di negara Prancis.[115][P] Kawasan timur Negeri Franka, khususnya Jerman dan Italia, terus-menerus dirongrong oleh orang Magyar yang baru dapat dikalahkan dalam Pertempuran Lechfeld pada 955.[117] Perpecahan Khilafah Bani Abbas mengakibatkan Dunia Islam terpecah-belah menjadi banyak negara kecil, beberapa di antaranya mulai berusaha meluaskan wilayah kedaulatan sampai ke Italia, Sisilia, dan melewati Pegunungan Pirenia sampai ke kawasan selatan Negeri Franka.[118]
Prasangka-prasangka modern
Abad Pertengahan kerap diolok-olok sebagai "zaman kebodohan dan takhayul" manakala "fatwa pemuka agama lebih dihargai daripada pengalaman dan penalaran pribadi."[327] Olok-olok semacam ini berasal dari Abad Pembaharuan dan Abad Pencerahan, manakala para ilmuwan membanding-bandingkan budaya keilmuan mereka dengan budaya keilmuan Abad Pertengahan. Para ilmuwan Abad Pembaharuan menganggap Abad Pertengahan adalah kurun waktu kemerosotan dari budaya dan peradaban tinggi dunia klasik; sementara para ilmuwan Abad Pencerahan menganggap akal budi lebih unggul daripada iman, dan oleh karena itu menganggap Abad Pertengahan sebagai zaman kebodohan dan takhayul.[13]
Sementara pihak justru beranggapan bahwa pada umumnya akal budi sangat dijunjung tinggi pada Abad Pertengahan. Sejarawan ilmu pengetahuan, Edward Grant, pernah mengemukakan dalam tulisannya bahwa "kemunculan gagasan-gagasan rasional yang revolusioner pada Abad Pencerahan hanya mungkin terjadi jika pada Abad Pertengahan sudah ada tradisi panjang yang menjadikan pemberdayaan akal budi sebagai salah satu aktivitas manusia yang terpenting".[328] Selain itu David Lindberg pernah menulis bahwa, bertentangan dengan anggapan umum, "ilmuwan Akhir Abad Pertengahan jarang sekali mendapatkan ancaman dari Gereja dan tentunya merasa leluasa (khususnya di bidang ilmu pengetahuan alam) untuk menuruti akal budi dan hasil pengamatan ke arah mana pun ia dituntun".[329]
Olok-olok terhadap Abad Pertengahan juga terungkap dalam beberapa prasangka tertentu. Salah satu kesalahpahaman mengenai Abad Pertengahan, yang pertama kali digembar-gemborkan pada abad ke-19[330] dan masih lazim dijumpai sekarang ini, adalah prasangka bahwa semua orang pada Abad Pertengahan yakin Bumi itu datar.[330] Prasangka ini keliru, karena para dosen di universitas-universitas Abad Pertengahan pada umumnya berpendapat bahwa bukti-bukti menunjukkan Bumi itu bulat.[331] Ilmuwan-ilmuwan lain dari abad ke-19, Lindberg dan Ronald Numbers, mengemukakan bahwa "nyaris tidak ada ilmuwan Kristen pada Abad Pertengahan yang tidak mengakui Bumi itu bulat, mereka bahkan sudah menghitung perkiraan panjang keliling Bumi".[332] Kesalahpahaman-kesalahpahaman lain seperti "Gereja melarang otopsi dan bedah jenazah pada Abad Pertengahan", "pertumbuhan agama Kristen mematikan ilmu pengetahuan kuno", atau "Gereja pada Abad Pertengahan menghambat perkembangan filsafat alam", semuanya dikutip oleh Ronald Numbers sebagai contoh dari mitos-mitos yang tersebar luas dan masih saja dianggap sebagai kebenaran sejarah, sekalipun tidak didukung oleh kajian sejarah mutakhir.[333]
Sejarah Abad Pertengahan dalam sejarah Eropa berlangsung dari abad ke-5 sampai abad ke-15 Masehi. Abad Pertengahan bermula sejak runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat dan masih berlanjut ketika Eropa mulai memasuki Abad Pembaharuan dan Abad Penjelajahan. Sejarah Dunia Barat secara tradisional dibagi menjadi tiga kurun waktu, yakni Abad Kuno, Abad Pertengahan, dan Zaman Modern. Dengan kata lain, Sejarah Abad Pertengahan adalah kurun waktu peralihan dari Abad Kuno ke Zaman Modern. Sejarah Abad Pertengahan masih terbagi lagi menjadi tiga kurun waktu, yakni Awal Abad Pertengahan, Puncak Abad Pertengahan, dan Akhir Abad Pertengahan.
Penurunan jumlah penduduk, kontraurbanisasi, invasi, dan perpindahan suku-suku bangsa, yang berlangsung sejak Akhir Abad Kuno, masih berlanjut pada Awal Abad Pertengahan. Perpindahan-perpindahan penduduk berskala besar pada Zaman Migrasi juga mencakup perpindahan suku-suku bangsa Jermanik yang mendirikan kerajaan-kerajaan baru di bekas wilayah Kekaisaran Romawi Barat.
Pada abad ke-7, Afrika Utara dan Timur Tengah—bekas wilayah Kekaisaran Bizantin—dikuasai oleh Khilafah Bani Umayyah, sebuah kekaisaran Islam, setelah ditaklukkan oleh para pengganti Muhammad. Meskipun pada Awal Abad Pertengahan telah terjadi perubahan-perubahan mendasar dalam tatanan kemasyarakatan dan politik, pengaruh Abad Kuno belum benar-benar hilang.
Kekaisaran Bizantin yang masih cukup besar tetap sintas di kawasan timur Eropa. Kitab undang-undang Kekaisaran Bizantin, Corpus Iuris Civilis atau “Kitab Undang-Undang Yustinianus”, ditemukan kembali di Italia Utara pada 1070, dan di kemudian hari mengundang decak kagum dari berbagai kalangan sepanjang Sejarah Abad Pertengahan.
Sebagian besar dari kerajaan-kerajaan yang berdiri di kawasan barat Eropa melembagakan segelintir pranata Romawi yang tersisa. Biara-biara didirikan seiring gencarnya usaha mengkristenkan kaum pagan (penganut kepercayaan leluhur di Eropa). Orang Franka di bawah pimpinan raja-raja wangsa Karoling, mendirikan Kekaisaran Karoling pada penghujung abad ke-8 dan permulaan abad ke-9. Meskipun berjaya menguasai sebagian besar daratan Eropa Barat, Kekaisaran Karoling pada akhirnya terpuruk akibat perang-perang saudara di dalam negeri dan invasi-invasi dari luar negeri, yakni serangan orang Viking dari arah utara, serangan orang Magyar dari arah timur, dan serangan orang Sarasen dari arah selatan.
Eropa pada zaman wangsa Karoling
Kerajaan Franka di kawasan utara Galia terpecah menjadi Kerajaan Austrasia, Kerajaan Neustria, dan Kerajaan Burgundia pada abad ke-6 dan abad ke-7, ketiga-tiganya diperintah oleh raja-raja dari wangsa Meroving, anak cucu Raja Klovis. Abad ke-7 adalah kurun waktu yang dipenuhi gejolak peperangan antara Kerajaan Austrasia dan Kerajaan Neustria.[94] Perang antara kedua kerajaan ini dimanfaatkan oleh Pipin (wafat 640), Pembesar Istana Kerajaan Austrasia yang merupakan orang kuat di belakang penguasa Austrasia. Anggota-anggota keluarganya kemudian hari mewarisi jabatan ini, dan bertugas selaku penasihat dan wali raja. Cicit Pipin yang bernama Karel Martel (wafat 741) memenangkan Pertempuran Poitiers pada 732, yang menghambat pergerakan bala tentara Muslim sehingga tidak melampaui batas Pegunungan Pirenia.[95][J] Wilayah Britania Raya terbagi-bagi menjadi negara-negara kecil yang dikuasai oleh Kerajaan Northumbria, Kerajaan Mercia, Kerajaan Wessex, dan Kerajaan Anglia Timur, yang didirikan oleh orang-orang Saksen-Inggris dari Eropa Daratan. Kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di wilayah yang kini disebut Wales dan Skotlandia masih dikuasai oleh suku-suku pribumi, yakni orang Britani dan orang Pikti.[97] Wilayah Irlandia terbagi-bagi menjadi satuan-satuan politik yang lebih kecil lagi dan diperintah oleh raja-raja. Satuan-satuan politik di Irlandia ini dikenal dengan sebutan kerajaan-kerajaan kesukuan. Diperkirakan kala itu ada 150 raja pribumi di Irlandia, dengan bobot kekuasaan yang berbeda-beda.[98]
Keturunan Karel Martel, yakni wangsa Karoling, mengambil alih pemerintahan Kerajaan Austrasia dan Kerajaan Neustria melalui suatu usaha kudeta pada 753 yang dipimpin oleh Pipin III (memerintah 752–768). Menurut keterangan dari sebuah naskah tawarikh yang ditulis pada masa itu, Pipin meminta dan mendapatkan wewenang untuk melakukan kudeta dari Paus Stefanus II (menjabat 752–757). Kudeta yang dilakukan Pipin disokong dengan kegiatan propaganda yang mencitrakan raja-raja wangsa Meroving sebagai penguasa-penguasa yang tidak cakap memerintah bahkan lalim, menggembar-gemborkan segala prestasi yang pernah diraih oleh Karel Martel, dan menyebarluaskan kisah-kisah tentang betapa salehnya keluarga Pipin. Di akhir hayatnya pada 768, Pipin mewariskan kerajaannya kepada kedua putranya, Karel (memerintah 768–814) dan Karloman (memerintah 768–771). Ketika Karloman mangkat secara wajar, Karel menghalangi penobatan putra Karloman yang masih belia, dan malah menobatkan dirinya sendiri menjadi raja atas wilayah gabungan Austrasia dan Neustria. Karel, yang lebih dikenal dengan nama Karel Agung (bahasa Latin: Carolus Magnus, bahasa Prancis: Charlemagne), melancarkan serangkaian upaya sistematis untuk meluaskan wilayah pada 774 dengan mempersatukan sebagian besar negeri di Eropa, dan pada akhirnya berhasil menguasai wilayah-wilayah yang kini menjadi wilayah negara Prancis, kawasan utara Italia, dan wilayah Sachsen. Dalam perang yang baru berakhir selepas tahun 800 ini, Karel Agung mengganjari sekutu-sekutunya dengan harta pampasan perang dan kekuasaan atas berbidang-bidang tanah lungguh.[100] Pada 774, Karel Agung menaklukkan orang Lombardi, sehingga lembaga kepausan terbebas dari ancaman penaklukan oleh orang Lombardi dan mulai mendirikan Negara Gereja.[101][K]
Penobatan Karel Agung menjadi kaisar pada hari Natal tahun 800 dianggap sebagai titik balik dalam sejarah Abad Pertengahan. Penobatan ini menandai kebangkitan kembali Kekaisaran Romawi Barat, karena kaisar yang baru ini memerintah atas sebagian besar wilayah yang dahulu kala dikuasai oleh para Kaisar Romawi Barat.[103] Penobatan ini juga menjadi awal perubahan sifat hubungan antara Karel Agung dan kekaisaran Romawi Timur, karena dengan menyandang gelar kaisar, raja-raja wangsa Karoling menyatakan diri setara dengan para penguasa Romawi Timur.[104] Kekaisaran Karoling yang baru berdiri ini memiliki sejumlah perbedaan dengan Kekaisaran Romawi lama maupun dengan Kekaisaran Romawi Timur kala itu. Wilayah kedaulatan orang Franka bercorak pedesaan dan hanya memiliki beberapa kota kecil. Rata-rata warganya adalah petani yang menetap di lahan-lahan kecil. Kegiatan dagang hanya berskala kecil, dan sebagian besar dilakukan dengan kepulauan Inggris dan Skandinavia, jauh berbeda dari jaringan niaga Kekaisaran Romawi lama yang berpusat di Laut Tengah.[103] Pemerintahan Kekaisaran Karoling diselenggarakan oleh suatu majelis keliling yang senantiasa berpindah-pindah mengikuti perjalanan jelajah kaisar, serta kurang lebih 300 pegawai kekaisaran yang disebut bupati (bahasa Latin: comes, bahasa Prancis: comte, bahasa Jerman: graf), yang menyelenggarakan pemerintahan kabupaten (bahasa Latin: comitatus, bahasa Prancis: comitat, bahasa Jerman: grafschaft), yakni satuan wilayah pemerintahan di Kekaisaran Karoling. Rohaniwan dan uskup-uskup setempat dikaryakan sebagai pamong praja maupun pegawai kekaisaran yang disebut para missi dominici. Para missi dominici bekerja sebagai penilik keliling dan petugas penanggulangan masalah.[105]